Tuesday, October 04, 2011
Mulanya, rasa takut itu dirasakan oleh Guru Rakhim
saat beliau hendak melakukan salat subuh di musala yang tak jauh dari rumahnya.
Beliau merasa ada sesosok mahluk tinggi besar yang mengawasi gerak-geriknya
mulai ketika beliau melepas sandal, mengambil air wudu, dan melakukan salat
serta berzikir.
Guru
Rakhim merasakan ada suara nafas yang sekilas namun tegas pada tengkuknya. Hal
itu menandakan bahwa ada sosok lain selain dirinya yang berada di musala itu.
Beliau mendadak merasa waswas barangkali inilah saat malaikat maut datang untuk
menjemput nyawanya. Namun, ada pikiran juga bahwa sosok yang dirasakan
kehadirannya dengan suara nafas yang tegas ditengkuknya itu hanyalah mahluk
halus yang biasa disebut lelembut belaka.
Guru
Rakhim menghentikan zikir dan memberanikan diri bertanya pada sosok yang tak
hendak ditengok dengan memutar kepala ke samping, kuatir beliau mendadak kaget
melihat perwujudannya. Sebab dari cerita-cerita orang, perwujudan lelembut itu
bermacam-macam, dan kebanyakan yang dilihat orang adalah perwujudan yang
menyeramkan.
“Salam.
Kalau boleh saya tahu siapakah Anda yang mengikuti semua gerak-gerik saya
selama di musala ini?”
Yang
ditanya tidak segera menjawab, namun sekali lagi Guru Rakhim merasakan suara
nafas yang tegas pada tengkuknya. Setelah itu, barulah Guru Rakhim merasa ada
suara seseorang yang langsung masuk ke dalam alam pikirannya. Guru Rakhim
mendapatkan banyak perkataan yang tak beliau dengar dengan kedua telinganya,
melainkan beliau sangat bisa memahami semua itu. Perkataan-perkataan sosok itu
membuat ketakutan yang sangat pada hati Guru Rakhim. Dan karena ketakutan itu,
buru-buru Guru Rakhim meninggalkan musala itu dengan berlari untuk sampai ke
rumahnya.
Nyi
Mirah Ati, istri Guru Rakhim mendapatkan cerita itu sepulang Guru Rakhim pulang
dari musala. Sepanjang Nyi Guru mengenal Guru Rakhim, beliau adalah orang yang
jujur. Oleh karena itu Nyi Mirah Ati percaya bahwa Guru Rakhim memang
benar-benar bertemu dengan sosok yang suara nafasnya terdengar tegas di tengkuk
beliau. Demikian pula dengan perkataan-perkataan sosok itu yang telah merasuk
ke pikiran Guru Rakhim. Bahkan tidak hanya itu, Nyi Mirah Ati pun bisa
merasakan kehadiran sosok yang dimaksud oleh Guru Rakhim ketika mereka sedang
memperbincangkan peristiwa yang dialami oleh Guru Rakhim di subuh itu. Demikian
juga Nyi Mirah Ati bisa merasakan rasa takut yang sama seperti yang dialami
oleh Guru Rakhim ketika mendengar perkataan-perkataan sosok bernafas tegas itu.
“Ada
baiknya, kita pergi ke Kyai Musaba, guru kita itu, Suamiku. Sebab perkara
ketakutan yang kita rasakan itu belum pernah kita rasakan sebelumnya. Mungkin
Kanjeng Kiyai bisa menjelaskan mengapa ada rasa takut yang timbul saat apa yang
dikatakan oleh sosok itu kita resapi. Kita juga harus memastikan apakah sosok
itu berasal dari kebaikan atau kejahatan. Sebab apabila dari kejahatan, maka
sudah sepantasnya kita tak perlu merasa takut!” Demikianlah Nyi Mirah Ati mengusulkan agar mereka mencari
tahu hal-hal yang berkenaan dengan sosok itu serta perkataannya yang membuat
mereka berdua merasa takut. Bahkan sangat takut.
Kyai
Musaba mendengarkan dengan sangat seksama cerita Guru Rakhim, sebab menurut
beliau cerita semacam ini harus dicermati karena apabila salah tanggap akan
dianggap lelucon belaka bahkan mengada-ada. Sebab mirip sekali dengan peristiwa
yang hanya dialami oleh Kanjeng Nabi dulu kala.
“Begitu
sosok itu berkata, ada perasaan yang tiba-tiba menghujam dada saya, Kyai.
Perasaan seperti saya akan mendapatkan kesakitan yang luar biasa. Kesakitan
yang lebih sakit dari sayatan pedang atau bahkan saat nyawa sedang diregang.” Guru Rakhim menjelaskan perasaan beliau ketika beliau
mendengarkan perkataan dari sosok yang hanya dapat dirasakan melalui suara
nafas yang tegas di tengkuknya itu.
“Perkataan
seperti apa yang dia katakan, Rakhim?”
Kyai Musaba menyela, ”Tanpa mengetahui perkataannya, rasanya sulit sekali
bagiku untuk menelusuri apakah sosok itu dari kebaikan atau kejahatan.”
Maka
Guru Rakhim meneruskan ceritanya dengan mengungkapkan kata-kata yang tidak dia
dengar melainkan seperti langsung masuk ke dalam pikirannya itu. Demi mendengar
kata-kata yang meluncur dari mulut Guru Rakhim, tiba-tiba wajah Kyai Musaba
memucat. Matanya mendelik seolah beliau melihat sesuatu yang sangat mengerikan
tengah terjadi. Tangannya memegang dada yang tiba-tiba merasa kesesakan.
Bersamaan itu pula, di tengkuknya terasa ada nafas yang tegas dan teramat
dekat. Sosok yang dibicarakan Guru Rakhim dan Nyi Mirah Ati nampaknya turut
serta dalam perbincangan itu.
Begitu
Guru Rakhim selesai bercerita, nafas Kyai Musaba tersengal-sengal. Segera saja
tangannya mengambil cangkir dan menghabiskan teh yang sudah agak dingin.
”Rakhim,
apa yang dikatakan oleh mahluk itu adalah keadaan yang sesungguhnya dari apa
yang kita lihat sehari-hari dan juga yang telah dinyatakan oleh orang-orang
sebelum kita. Orang-orang yang hidupnya dekat dengan Tuhan. Oleh sebab itu,
bisa aku pastikan yang kau temui itu mahluk kebaikan dan datang untuk kebaikan
kita semua.”
Guru
Rakhim terdiam mendengar Kyai Musaba berkata demikian. Tiba-tiba di pikiran
beliau berkecamuk: bagaimana jika pesan-pesan dari sosok nir suara itu
disebarluaskan ke masyarakat.
Seperti
telah mengetahui pikiran dari Guru Rakhim, Kyai Musaba tiba-tiba berkata, ”Ada
baiknya memang pesan-pesan ini diketahui oleh banyak orang. Sebab ketakutan
yang kita rasakan dan kehadiran sosok yang sepertinya mengawasi dengan ketat
gerak-gerik kita ini akan membuat orang berbuat baik.”
Begitulah
ceritanya, hingga pesan-pesan yang menimbulkan ketakutan itu disebarluaskan
kepada masyarakat di sekitar tempat tinggal Guru Rakhim dan Kyai Musaba. Demi
mendengar pesan-pesan itu, setiap orang merasakan ketakutan yang luar biasa dan
merasakan hadirnya sosok yang sepertinya mengawasi gerak-gerik mereka setiap
saat. Dan seperti diharapkan, maka perubahan pada sikap orang-orang pun
berubah. Mereka menjadi sangat ramah terhadap sesiapa saja. Saling membantu dan
mau bergotong-royong dalam kegiatan kebersihan, penanggulangan bencana, atau
membantu orang-orang yang lemah dan miskin, yang merupakan hal-hal yang sudah
lama menghilang dari kebiasaan.
Anak-anak
yang biasanya nakal, suka mencemooh bahkan suka membolos dari pengajian pun
kini menjadi anak-anak yang manis dan sopan. Mereka sungguh sangat ketakutan
karena banyak yang mengabarkan secara berlebihan apabila mereka berbuat tidak
baik maka sosok yang dirasa dari suara nafas di tengkuk itu akan menjemput
paksa mereka ketika tidur.
Demikianlah,
orang-orang pun hidup berdampingan dengan rasa takut itu. Rasa takut itu telah
menjadi senjata yang ampuh untuk menjadikan orang-orang hidup dengan baik. Kyai
Musaba dan Guru Rakhim merasa bahwa keinginan mereka untuk menyebarkan
pesan-pesan kebaikan dan rasa kehadiran akan sosok kebaikan itu telah berhasil
menemu tujuannya: Orang-orang hidup dengan sikap yang sangat baik dan penuh
kebaikan.
Hanya
saja, Sanggah, seorang pemuda yang baru tiba dari kota merasa hal semacam itu
hanyalah sesuatu yang dibesar-besarkan. ”Bukankah kita juga pernah diwejangi
soal Neraka, tempat gelap, panas, penuh ratapan dan tangisan itu? Tetapi coba
lihat, berapa banyak orang yang benar-benar menjalankan agamanya dengan baik?”
”Jangan
berkata begitu, Sanggah.” Muridi
menimpali,”Mungkin orang-orang dulu itu belum tahu bahwa kita memang
benar-benar diawasi oleh sosok kebaikan yang tak kelihatan, yang hanya dapat
dirasakan kehadirannya dengan suara nafas yang tegas di tengkuk kita itu.”
”Lho.
Bukankah dulu juga kita sering diberi nasehat bahwa kanan-kiri kita ada
malaikat yang mencatat semua amal perbuatan kita? Tapi buktinya, tetap saja ada
orang mencuri, membunuh, memperkosa, bahkan korupsi!” Lagi-lagi Sanggah menyatakan ketidakpercayaannya pada
pesan-pesan gaib yang disebarluaskan.
”Mungkin
kamu belum merasakan kehadiran sosok itu, Sanggah!” Celetuk yang lain, ”Kau belum pernah merasakan ketakutan
yang kami rasakan setelah mendengar pesan-pesan gaib itu.”
Maka
Sanggah memutuskan untuk menemui sendiri Guru Rakhim. Dia begitu ingin tahu
ketakutan seperti apa yang membuat orang-orang itu menjadi sangat baik
sikapnya. Setelah dipersilakan masuk dan duduk, Sanggah memperhatikan setiap
gerak-gerik Guru Rakhim dengan seksama.
”Sebenarnya,
apa yang ingin Anda ketahui dari saya? ”
Guru Rakhim langsung bertanya pada pokok persoalan yang membuat Sanggah
berkunjung ke rumah beliau.
”Begini,
Guru Rakhim, saya sudah banyak mendengar kabar dan pesan-pesan yang konon
disebarkan oleh Guru dan Kyai Musaba di daerah ini. Kabar tentang sesosok
mahluk gaib yang mengawasi tindak-tanduk kita, juga pesan-pesan yang
disampaikan olehnya tanpa suara,”
Sanggah melanjutkan mengutarakan maksud kedatangannya,” Yang ingin saya
tanyakan adalah apakah mereka benar-benar mengalami ketakutan dan kehadiran
sosok tersebut ketika mendengar cerita dari Guru Rakhim dan Kyai Musaba? Atau
mereka hanya takut kepada Guru Rakhim dan Kyai Musaba saja?”
Guru
Rakhim berdehem sebentar sebelum menjawab pertanyaan dari Sanggah. Jemarinya
terus bergerak menghitung butiran tasbih, tanda sedang berzikir. Mata beliau
tampak menerawang, seolah-olah ada sesuatu yang teramat berat di dalam
pikirannya. Pelan-pelan, Sanggah melihat mata beliau semakin membelalak.
Seolah-olah ada sesuatu yang amat mengejutkannya. Mulut beliau mendadak
menganga.
Sanggah
mengira Guru Rakhim tengah memberi contoh begitulah beliau dan Kyai Musaba
mengalami ketakutan yang teramat mencekam. Begitu pula dengan orang-orang yang
mendengar cerita beliau berdua. Namun Guru Rakhim tidak berhenti menunjukkan
ekspresi ketakutan itu. Beliau juga tidak mengeluarkan suara sepatah kata juga.
Sanggah
menghampiri Guru Rakhim dan memegang lututnya, sedikit mengguncangkan,
bermaksud agar Guru Rakhim tersadar dari keadaan itu. Tapi Guru Rakhim tidak
bergeming.
Sontak,
Sanggah berteriak memanggil Nyi Mirah Ati agar segera datang ke ruang tamu dan
menyadarkan Guru Rakhim. Nyi Mirah Ati tergopoh-gopoh dan mengguncangkan tubuh
Guru Rakhim. Yang diguncang-guncang itu tetap diam terpaku dengan mata melotot
dan mulut ternganga. Ruang tamu itu segera dipenuhi suara tangis yang menyayat.
Sanggah
yang kebingungan, segera berlari meninggalkan rumah Guru Rakhim untuk
mengabarkan keadaan Guru Rakhim kepada orang-orang di kampung. Siang itu,
setelah kabar Sanggah tersiar, berduyun-duyun orang datang ke rumah Guru Rakhim
untuk melihat Guru Rakhim yang terdiam dalam keadaan seperti orang dilanda
ketakutan yang akut.
Melihat
keadaan Guru Rakhim, semua orang semakin bertambah rasa takutnya. Mereka
semakin percaya bahwa apa yang dikatakan Guru Rakhim tentang sosok gaib dan
pesan-pesan tanpa suara itu adalah suatu kebenaran. Kyai Musaba pun diundang,
barangkali sebagai guru dari Guru Rakhim, Kyai Musaba bisa menyembuhkan Guru
Rakhim.
Demi
melihat keadaan Guru Rakhim, Kyai Musaba pun bertambah rasa takutnya. ”Ini
jelas rasa takut yang luar biasa yang dirasakan oleh Guru Rakhim. Saya tidak
mungkin dapat menyadarkannya.” Jelas Kyai Musaba.
Tangan
Kyai Musaba terulur pada dada Guru Rakhim. Rupanya, Kyai Musaba masih
mendapatkan degup jantung Guru Rakhim sehingga tak berapa lama kemudian Kyai
Musaba menghembuskan nafas keras, menandakan kelegaan bahwa Guru Rakhim masih
bernyawa.
Setelah
lama dalam kondisi demikian, Guru Rakhim pun mengedipkan kelopak matanya.
Orang-orang berseru gembira, lalu ramai pertanyaan dilontarkan kepada beliau.
“Apa
yang Guru Rakhim rasakan? Adakah penglihatan atau pesan gaib lainnya?”
Guru
Rakhim berbicara dengan pelan, hampir tak terdengar, setelah mengatur nafasnya.
“Ada
lagi yang harus aku ajarkan kepada kalian semua. Rasa takut yang lain. Yang
lebih dahsyat dari apa yang kalian rasakan kemarin-kemarin.”
Guru
Rakhim berhenti bicara, dan mengambil sikap seperti bersemadi. Orang-orang
menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Tak
berapa lama, orang-orang berteriak menyebut-nyebut nama Tuhan dan menghambur
berlarian. Terdengar pula jeritan Nyi Mirah Ati dan Kyai Musaba. Tubuh Guru
Rakhim meledak tak berapa lama beliau mengambil sikap bersemadi.
Serpihan-serpihan tubuh beliau yang hancur terlontar ke berbagai arah.
Thursday, September 22, 2011
Dia baru
bisa membaca saat pertama kali diajak bersepeda - tepatnya dibonceng -
ibunya saat mengetahui ada keganjilan dari apa yang dia lihat di alun-alun
kota. Ada sebatang pohon asam gelugur tua, bukan beringin, tumbuh di tengah
alun-alun itu. Padahal menurut cerita-cerita yang sering dilontarkan bibir
ibunya, adalah pohon beringin yang biasanya ditanam sebagai lambang pengayoman
kepala daerah kepada rakyatnya. Cabang-cabangnya yang rindang membentuk kanopi
yang sangat teduh. Di antara dahan dan rantingnya yang rimbun, puluhan burung
tekukur dan perkutut membuat sarang.
Dia mencoba mengeja nama latin dari pohon asam gelugur itu. Sebuah nama yang terasa sangat ganjil bagi lidahnya yang terbiasa dengan logat kental tanah kelahirannya. “Tam..mar..rindus in..di..ca,” Ejanya. Ibunya hanya bisa tersenyum. Bangga karena anak berumur empat tahun itu bisa membaca dengan cukup lancar.
Dia memandang ibunya dengan mata sedikit berbinar. Ibunya tahu, sekejap lagi anaknya itu pasti akan bertanya sesuatu. Dan benar saja, tak lama kemudian dari mulutnya yang kecil meluncurlah sebuah pertanyaan yang ibunya sendiri tidak tahu jawabannya. “Apa artinya itu, Bu?”
+++
Dia baru tahu bertahun-tahun kemudian bahwa nama latin Tamarindus indica berasal dari beragam bahasa. Tamarindus berasal dari bahasa Arab: Tamr Hindi, yang berarti kurma dari India. Tapi dia tidak mengerti mengapa disebut sebagai kurma, sebab buah dari pohon itu berasa asam sehingga di tanah kelahirannya disebut sebagai pohon dan buah asam, bukan kurma.
Dia juga belum mengerti mengapa di alun-alun kotanya itu bukan beringin yang ditanam di tengah-tengahnya melainkan pohon asam gelugur itu. Padahal pohon itu tidaklah terlalu rindang, dan cabang serta rantingnya mudah sekali patah. Tapi dia tahu, ibunya sering sekali membuat minuman dengan bahan dasar buah asam yang sudah sangat masak. Minuman yang segar itu bernama serbat. Enak diminum ketika cuaca sangat terik. Daun mudanya juga bisa dibuat minuman dengan mencampurnya dengan bahan-bahan lain seperti kunyit, juga bisa sebagai obat batuk dan demam. Karena itu, beberapa kali ibunya mengajak ke alun-alun itu sekedar mengambil buah yang jatuh, memetik daun muda, dan mengelupas kulit kayunya.
+++
Sesekali, dia melihat pada kedua mata ibunya itu merebak air mata. Dan sesaat kemudian, kadang kala, raut yang tampak sedih itu bisa berubah menjadi wajah yang penuh amarah. Dia tidak pernah mau menanyakannya, sebab jika dia bertanya bisa-bisa menambah tekanan perasaan pada ibunya. Dia tak mau itu terjadi.
Untuk mengubahkan suasana hati ibunya itu, dia kadang segera menyibukkan diri mencari jangkrik pada rerumputan di sekitar kaki pohon yang besar itu. Lalu dengan riangnya, disorongkan jangkrik yang tertangkap itu sambil berceloteh akan dikumpulkan sebanyak-banyaknya jangkrik untuk makanan burung-burung peliharaan kakek.
Selain dia, laki-laki yang ada di rumah adalah kakeknya. Kakek yang pendiam dan selalu sibuk dengan burung-burung peliharaannya. Beberapa hari dalam seminggu, kakek pergi mengikuti kontes burung berkicau. Sebenarnya dia juga ingin menangkapi burung-burung yang bersarang di pohon itu, tetapi tak satu pun burung di pohon tersebut menyerupai burung-burung yang ada dalam sangkar-sangkar milik kakeknya.
Kakek jarang sekali berbicara dengan ibu maupun dirinya. Ibu pernah bilang bahwa kakek tidak pernah menyetujui hadirnya laki-laki yang tak pernah lagi ada di sekitar dia dan ibunya. Ayahnya. Mungkin itu yang membuat ibunya sering bersedih atau marah setiap kali berada di dekat pohon asam di tengah alun-alun itu.
+++
Sampai suatu hari, menjelang hari pernikahannya, dia memberanikan diri bertanya kepada ibunya.
“Bu, dulu sewaktu aku kecil Ibu sering sekali membawaku pergi ke alun-alun memetik daun asam, mengumpulkan buahnya, dan sesekali mengerat kulit kayunya. Apakah Ibu ingat itu?”
Ibunya tersenyum dan mengelus kepalanya yang berada dekat dengan pangkuan.
“Tentu Ibu ingat. Apa yang ingin engkau tanyakan sebenarnya?”
Dengan menghela nafas panjang dan berat, dia menanyakan hal yang bertahun-tahun disimpan.
“Mengapa Ibu selalu menangis dan juga marah setiap kali kita ke sana? Kenangan apakah yang sebenarnya Ibu simpan?”
+++
Semenjak Ibunya tak pernah menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi antara Ibunya dengan pohon asam gelugur di tengah alun-alun, dia tak pernah lagi bertanya. Hanya pada suatu reuni dengan teman-teman sekolahnya, dia bertemu Karman yang kini menjabat Sekretaris Daerah.
Dia yang kaget dengan penataan alun-alun kotanya itu mendapat penjelasan bahwa pohon asam gelugur itu sudah ditebang dan diganti dengan sebuah tugu berbentuk runcing yang menggambarkan keteguhan dan perjuangan untuk meraih cita-cita yang lebih baik.
“Oh. Pohon asam itu terlalu banyak menyimpan cerita pahit,” Jelas Karman ketika dia menanyakan alasan penebangan pohon itu.
“Memang cerita macam apa sehingga warga kota tak menginginkan pohon itu tidak perlu lagi ada di tengah alun-alun?” Dia tampak ingin menuntaskan rasa penasaran yang sekian lama bercokol itu.
“Kau pernah mendengar hukum picis, bukan? Seseorang yang dinyatakan bersalah disayat kulitnya dan pada lukanya itu diteteskan cairan dari buah asam. Dulu, pohon itu menjadi terkenal gara-gara seorang perampok besar menemui hari sialnya. Dia ditangkap dan ramai-ramai warga menghukumnya. Setiap orang menyayat kulitnya dan menyiramnya dengan cairan buah asam. Dia menemui ajal dengan tubuh hampir seluruhnya terkelupas kulitnya.”
“Perampok besar? Siapa namanya?”
“Orang-orang menyebutnya Man Jaha.”
Mendengar nama itu, dia menjadi sangat maklum mengapa kakeknya tak pernah mau bicara dengan ibu dan dirinya. Terlebih, dia pun kini bisa merasakan kesedihan dan kemarahan yang sama dengan ibunya jika dia mengingat pohon asam di tengah alun-alun itu. Untunglah, kini pohon asam itu sudah tidak ada lagi.
Dia mencoba mengeja nama latin dari pohon asam gelugur itu. Sebuah nama yang terasa sangat ganjil bagi lidahnya yang terbiasa dengan logat kental tanah kelahirannya. “Tam..mar..rindus in..di..ca,” Ejanya. Ibunya hanya bisa tersenyum. Bangga karena anak berumur empat tahun itu bisa membaca dengan cukup lancar.
Dia memandang ibunya dengan mata sedikit berbinar. Ibunya tahu, sekejap lagi anaknya itu pasti akan bertanya sesuatu. Dan benar saja, tak lama kemudian dari mulutnya yang kecil meluncurlah sebuah pertanyaan yang ibunya sendiri tidak tahu jawabannya. “Apa artinya itu, Bu?”
+++
Dia baru tahu bertahun-tahun kemudian bahwa nama latin Tamarindus indica berasal dari beragam bahasa. Tamarindus berasal dari bahasa Arab: Tamr Hindi, yang berarti kurma dari India. Tapi dia tidak mengerti mengapa disebut sebagai kurma, sebab buah dari pohon itu berasa asam sehingga di tanah kelahirannya disebut sebagai pohon dan buah asam, bukan kurma.
Dia juga belum mengerti mengapa di alun-alun kotanya itu bukan beringin yang ditanam di tengah-tengahnya melainkan pohon asam gelugur itu. Padahal pohon itu tidaklah terlalu rindang, dan cabang serta rantingnya mudah sekali patah. Tapi dia tahu, ibunya sering sekali membuat minuman dengan bahan dasar buah asam yang sudah sangat masak. Minuman yang segar itu bernama serbat. Enak diminum ketika cuaca sangat terik. Daun mudanya juga bisa dibuat minuman dengan mencampurnya dengan bahan-bahan lain seperti kunyit, juga bisa sebagai obat batuk dan demam. Karena itu, beberapa kali ibunya mengajak ke alun-alun itu sekedar mengambil buah yang jatuh, memetik daun muda, dan mengelupas kulit kayunya.
+++
Sesekali, dia melihat pada kedua mata ibunya itu merebak air mata. Dan sesaat kemudian, kadang kala, raut yang tampak sedih itu bisa berubah menjadi wajah yang penuh amarah. Dia tidak pernah mau menanyakannya, sebab jika dia bertanya bisa-bisa menambah tekanan perasaan pada ibunya. Dia tak mau itu terjadi.
Untuk mengubahkan suasana hati ibunya itu, dia kadang segera menyibukkan diri mencari jangkrik pada rerumputan di sekitar kaki pohon yang besar itu. Lalu dengan riangnya, disorongkan jangkrik yang tertangkap itu sambil berceloteh akan dikumpulkan sebanyak-banyaknya jangkrik untuk makanan burung-burung peliharaan kakek.
Selain dia, laki-laki yang ada di rumah adalah kakeknya. Kakek yang pendiam dan selalu sibuk dengan burung-burung peliharaannya. Beberapa hari dalam seminggu, kakek pergi mengikuti kontes burung berkicau. Sebenarnya dia juga ingin menangkapi burung-burung yang bersarang di pohon itu, tetapi tak satu pun burung di pohon tersebut menyerupai burung-burung yang ada dalam sangkar-sangkar milik kakeknya.
Kakek jarang sekali berbicara dengan ibu maupun dirinya. Ibu pernah bilang bahwa kakek tidak pernah menyetujui hadirnya laki-laki yang tak pernah lagi ada di sekitar dia dan ibunya. Ayahnya. Mungkin itu yang membuat ibunya sering bersedih atau marah setiap kali berada di dekat pohon asam di tengah alun-alun itu.
+++
Sampai suatu hari, menjelang hari pernikahannya, dia memberanikan diri bertanya kepada ibunya.
“Bu, dulu sewaktu aku kecil Ibu sering sekali membawaku pergi ke alun-alun memetik daun asam, mengumpulkan buahnya, dan sesekali mengerat kulit kayunya. Apakah Ibu ingat itu?”
Ibunya tersenyum dan mengelus kepalanya yang berada dekat dengan pangkuan.
“Tentu Ibu ingat. Apa yang ingin engkau tanyakan sebenarnya?”
Dengan menghela nafas panjang dan berat, dia menanyakan hal yang bertahun-tahun disimpan.
“Mengapa Ibu selalu menangis dan juga marah setiap kali kita ke sana? Kenangan apakah yang sebenarnya Ibu simpan?”
+++
Semenjak Ibunya tak pernah menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi antara Ibunya dengan pohon asam gelugur di tengah alun-alun, dia tak pernah lagi bertanya. Hanya pada suatu reuni dengan teman-teman sekolahnya, dia bertemu Karman yang kini menjabat Sekretaris Daerah.
Dia yang kaget dengan penataan alun-alun kotanya itu mendapat penjelasan bahwa pohon asam gelugur itu sudah ditebang dan diganti dengan sebuah tugu berbentuk runcing yang menggambarkan keteguhan dan perjuangan untuk meraih cita-cita yang lebih baik.
“Oh. Pohon asam itu terlalu banyak menyimpan cerita pahit,” Jelas Karman ketika dia menanyakan alasan penebangan pohon itu.
“Memang cerita macam apa sehingga warga kota tak menginginkan pohon itu tidak perlu lagi ada di tengah alun-alun?” Dia tampak ingin menuntaskan rasa penasaran yang sekian lama bercokol itu.
“Kau pernah mendengar hukum picis, bukan? Seseorang yang dinyatakan bersalah disayat kulitnya dan pada lukanya itu diteteskan cairan dari buah asam. Dulu, pohon itu menjadi terkenal gara-gara seorang perampok besar menemui hari sialnya. Dia ditangkap dan ramai-ramai warga menghukumnya. Setiap orang menyayat kulitnya dan menyiramnya dengan cairan buah asam. Dia menemui ajal dengan tubuh hampir seluruhnya terkelupas kulitnya.”
“Perampok besar? Siapa namanya?”
“Orang-orang menyebutnya Man Jaha.”
Mendengar nama itu, dia menjadi sangat maklum mengapa kakeknya tak pernah mau bicara dengan ibu dan dirinya. Terlebih, dia pun kini bisa merasakan kesedihan dan kemarahan yang sama dengan ibunya jika dia mengingat pohon asam di tengah alun-alun itu. Untunglah, kini pohon asam itu sudah tidak ada lagi.
Tuesday, February 15, 2011
Dedy Tri Riyadi
Beranak dalam Hujan
Beranak dalam Hujan
“Sudah, tidak apa-apa. Paling
sebentar lagi terang.” Kardasih menolak diminta menunggu sejenak oleh Hasim
untuk diambilkan payung lantaran di sore yang masih menyisakan terik matahari
tiba-tiba turun hujan.
“Justru itu. Kalau kau kena hujan yang sebentar, nanti malah sampai rumah kau dikira habis tercebur di sungai.” Hasim bersikeras agar Kardasih pulang berpayung.
Akhirnya gadis itu duduk kembali. Dari teras rumah itu, Kardasih memandangi langit yang terang benderang ditingkahi butiran-butiran hujan. Tercium pula ruap bau tanah yang tersiram. Dan terdengar bunyi seperti langkah-langkah kanak-kanak yang berkejaran dengan riang gembira. Kardasih berharap sebentar lagi muncul semburat aneka warna di antara awan-awan putih dan kelabu itu.
Tiba-tiba dia mendengar suara yang terdengar samar tetapi terkesan berat. Suara itu tak sanggup dia pastikan arahnya. Tak lama kemudian terdengar suara lain yang melengking tetapi juga samar. Sebentar saja suara-suara itu terdengar tetapi mampu membuatnya terjerat perasaan ganjil. Kuduknya terasa dingin. Tangan kanannya menyusup ke balik kerah baju dan menggosok tengkuknya sendiri.
“Ini payungnya,” Hasim tiba-tiba sudah berdiri di dekat pintu sambil mengangsurkan payung berwarna abu-abu kepadanya.
“Ih! Kau bikin aku kaget saja.” Teriak Kadarsih. Tubuhnya terguncang ke belakang dari posisi duduknya semula. Setelah agak tenang, Kadarsih menyambut payung yang diulur Hasim dan meletakkannya di atas meja di hadapannya.
“Mmm. Sim, Apakah di sini, di rumah ini angker?”
“Angker? Ada apa kau bertanya seperti itu?” Hasim balik bertanya sambil menghempaskan tubuhnya pada kursi di dekat Kadarsih.
Yang ditanya diam saja. Tangan Kadarsih kembali mengusap tengkuknya sambil berkata,”Aku merasa sedikit takut saja.”
“Di rumah ini tidak pernah terjadi hal-hal yang aneh. Apalagi keluargaku bukanlah orang-orang yang gampang ditakuti dengan urusan yang berbau mistis atau supranatural.”
Kadarsih tidak menanggapi perkataan Hasim. Tetapi raut wajahnya menunjukkan perasaan antara bingung dan takut. Melihat hal itu, Hasim mengambil payung dari atas meja dan bangkit seraya berkata,” Ya sudah. Biar aku antar kau pulang.”
“Justru itu. Kalau kau kena hujan yang sebentar, nanti malah sampai rumah kau dikira habis tercebur di sungai.” Hasim bersikeras agar Kardasih pulang berpayung.
Akhirnya gadis itu duduk kembali. Dari teras rumah itu, Kardasih memandangi langit yang terang benderang ditingkahi butiran-butiran hujan. Tercium pula ruap bau tanah yang tersiram. Dan terdengar bunyi seperti langkah-langkah kanak-kanak yang berkejaran dengan riang gembira. Kardasih berharap sebentar lagi muncul semburat aneka warna di antara awan-awan putih dan kelabu itu.
Tiba-tiba dia mendengar suara yang terdengar samar tetapi terkesan berat. Suara itu tak sanggup dia pastikan arahnya. Tak lama kemudian terdengar suara lain yang melengking tetapi juga samar. Sebentar saja suara-suara itu terdengar tetapi mampu membuatnya terjerat perasaan ganjil. Kuduknya terasa dingin. Tangan kanannya menyusup ke balik kerah baju dan menggosok tengkuknya sendiri.
“Ini payungnya,” Hasim tiba-tiba sudah berdiri di dekat pintu sambil mengangsurkan payung berwarna abu-abu kepadanya.
“Ih! Kau bikin aku kaget saja.” Teriak Kadarsih. Tubuhnya terguncang ke belakang dari posisi duduknya semula. Setelah agak tenang, Kadarsih menyambut payung yang diulur Hasim dan meletakkannya di atas meja di hadapannya.
“Mmm. Sim, Apakah di sini, di rumah ini angker?”
“Angker? Ada apa kau bertanya seperti itu?” Hasim balik bertanya sambil menghempaskan tubuhnya pada kursi di dekat Kadarsih.
Yang ditanya diam saja. Tangan Kadarsih kembali mengusap tengkuknya sambil berkata,”Aku merasa sedikit takut saja.”
“Di rumah ini tidak pernah terjadi hal-hal yang aneh. Apalagi keluargaku bukanlah orang-orang yang gampang ditakuti dengan urusan yang berbau mistis atau supranatural.”
Kadarsih tidak menanggapi perkataan Hasim. Tetapi raut wajahnya menunjukkan perasaan antara bingung dan takut. Melihat hal itu, Hasim mengambil payung dari atas meja dan bangkit seraya berkata,” Ya sudah. Biar aku antar kau pulang.”
oOo
Di dalam hujan selalu ada kegelisahan. Gelisah agar badan tidak basah, gelisah agar perjalanan ini cepatlah sudah. Kadarsih berjalan berpayung dengan tergesa. Percikan air dari genangan sepanjang jalan mengenai roknya yang panjang. Namun dia merasa setiap dia melangkah, ada pula yang mengiringinya. Merasa semakin cemas, Kadarsih berjalan semakin cepat. Lalu terdengar seperti orang berbisik di dekatnya. “Ssh..Ssh...”
“Barangkali hanya angin,” Kadarsih semakin mempercepat langkah kakinya. Akhirnya dia tiba di depan rumahnya. Dia pun menyeru kepada ibunya. “Ibu. Ibu. Tolong buka pintu!” Kadarsih mengetuk-ketuk daun pintu. Saat dia mencoba melihat ke dalam rumah melalui jendela, di kaca jendela dia melihat ada sesosok perempuan menggendong bayi berdiri tepat di belakangnya.
“Ya Tuhan! Siapa kau!” Kadarsih menjerit. Dia tidak mau menoleh ke belakang. Dia semakin keras memanggil-manggil ibunya dan mengetuk-ngetuk daun pintu dan jendela. Dari kaca jendela, dia melihat sosok perempuan itu semakin mendekat kepadanya. Dan setelah semakin dekat, dia bisa melihat wajah perempuan dan bayinya yang ternyata menyeramkan. Setelah itu dia tidak ingat apa-apa. Kadarsih jatuh pingsan di depan pintu rumahnya.
oOo
“Mari masuk, Kadarsih,” sambut seorang perempuan kepadanya. Di depannya sebuah rumah cukup ramai dengan tetamu. Kadarsih bingung, bagaimana bisa perempuan itu tahu namanya. Terlebih dirinya tidak mengetahui siapa perempuan yang menyapanya itu.
“Kenalkan aku Nastiti.” Tiba-tiba perempuan itu mengulur tangan seolah paham apa yang menjadi pikiran Kadarsih tentang dirinya. “Aku mengenalmu sewaktu kamu dulu bermain di bawah pohon nangka tetanggamu. Aku berdiam di situ.”
Pohon nangka? Berdiam di situ? Kadarsih semakin bingung dengan perkataan Nastiti. Akan tetapi dia tidak bisa berlama-lama berdiri tertegun karena Nastiti menggandeng tangannya dan mereka berjalan ke dalam rumah yang penuh tetamu.
“Ini rumah siapa?” Kadarsih memberanikan diri bertanya.
“Ini rumah Giranda. Dia mengundangmu hari ini ke rumahnya karena kau adalah saksi kebahagiaan yang dia terima dan rasakan.”
Menjadi saksi dari sebuah kebahagiaan? Kebahagiaan apa?
“Ah. Mungkin kau belum paham Kadarsih. Kau terlihat oleh Giranda ketika dia melahirkan di teras rumah Hasim, temanmu.” Lagi-lagi Nastiti seperti menjawab pertanyaan yang berputar di dalam kepalanya.
Kadarsih berpikir mungkin Nastiti bisa membaca pikirannya. Jika benar demikian, dia tidak boleh sembarang berpikir yang bukan-bukan tentang segala sesuatu yang sedang berlangsung di hadapannya.
“Tenang saja, Kadarsih. Kami tidak akan membuatmu susah.” Oh, tidak! Lagi-lagi Nastiti melakukannya.
Nastiti dan Kadarsih masuk ke dalam rumah yang dihiasi lampu dan sangat riuh itu. Terlihat aneka hidangan tersedia di atas meja. Para tetamu duduk dan bercakap-cakap hampir di seluruh ruangan. Nastiti membimbing Kadarsih masuk lebih jauh ke dalam rumah itu menuju sebuah kamar.
“Masuk! Mari. Mari.” Dari dalam kamar terdengar suara perempuan dengan nada gembira.
Nastiti menyibak tirai dan nampaklah seorang perempuan cantik berbaring di sebuah ranjang yang besar. Di sampingnya terbaring juga bayi yang montok dan berkulit putih. Persis seperti kulit perempuan itu. Nastiti dan Kadarsih menghampiri perempuan itu dan menyalaminya.
“Kadarsih,” Demikianlah Kadarsih bersalaman dan menyebutkan namanya.
“Ah. Aku sudah tahu namamu. Aku Giranda. Maafkan aku mengundangmu dengan cara yang tidak lazim.”
“Apa maksudmu?”
“Maaf. Aku tak bermaksud menakut-nakutimu waktu aku mengikutimu berjalan di bawah hujan. Maksudku hanyalah ingin menunjukkan kebahagiaanku, memberitahu kepadamu bahwa aku sungguh gembira karena telah melahirkan anak ini. Gandira.” Katanya sambil telunjuknya mengusap lembut kening bayi yang tertidur.
”Jadi?” Kadarsih teringat wajah perempuan dan bayinya di dalam kaca jendela rumahnya.
“Betul. Itu aku dan Gandira. Maafkan telah mengejutkanmu.”
Kadarsih kini berpikir keras: bukankah dia sedang mengetuk pintu dan jendela sebelum dia tidak ingat apa-apa lagi setelah melihat dua buah wajah yang menyeramkan?
“Aduh. Tolong jangan diingat-ingat lagi peristiwa itu.” Giranda memohon. “Maafkan aku. Tak seharusnya begitu kejadiannya. Aku hanya ingin mengundangmu karena kau adalah saksi proses kelahiranku.”
“Aku tidak melihat apa-apa di beranda rumah Hasim! Kenapa dari tadi kalian bilang aku menjadi saksi sebuah kelahiran?”
“Kau memang tidak melihat apa-apa, Kadarsih. Tetapi kau mendengar suara Giranda dan suara Gandira. Itu sudah cukup untuk membuat kami merasa bahwa kau adalah saksi.” jawab Nastiti.
“Aku tidak mengerti. Sekarang pulangkan aku!” Jerit Kadarsih.
“Sabarlah, Kadarsih. Sabarlah. Buatlah kami senang dengan mencicipi hidangan kami,” Giranda memegang pundak Kadarsih lalu membentangkan sebelah tangan seakan mempersilakan Kadarsih ke ruangan depan untuk makan.
“Tidak. Tidak. Pulangkan aku sekarang!” Kadarsih menjerit sejadi-jadinya.
oOo
“Istigfar, Nak. Istigfar.” Ada suara lelaki yang berat terdengar. Kadarsih berusaha membuka matanya yang terasa tertutup sesuatu yang berat. Akhirnya dia bisa melihat dengan samar ada banyak orang mengelilinginya.
“Oh. Kepalaku.” Kadarsih menjerit lirih. Akibat terjatuh tadi, kepala Kadarsih membentur lantai. Efeknya baru terasa setelah kesadarannya pulih.
Terdengar tangis haru dari ayah dan ibu serta saudara-saudaranya. Kadarsih sudah siuman dari pingsannya. Dia mengembangkan tangan untuk memeluk ibunya.
“Kadarsih, kenapa kau, Nak?”
Kadarsih bercerita mulai dari suara-suara aneh di beranda rumah Hasim hingga wajah menyeramkan yang terlihat di kaca jendela. Juga tentang penunggu pohon nangka Pak Rustam tetangga mereka.
“Makanya, jangan suka dilanggar pamali orang tua dulu. Kalau ada hujan sementara cuaca terang lebih baik berdiam di dalam rumah, jangan bepergian,” Sebuah petuah terdengar dari seorang kakek yang tadi menyuruh Kadarsih mengucapan istigfar.
Thursday, September 04, 2008
Dahi
yang ditumbuhi sebuah jerawat tampak lebih mengkilat dari biasanya. Sinar lampu
sorot dari atas balkon yang mengarah ke altar yang telah membuat lebih indah
sesuatu yang sebenarnya memang sudah tampak indah. Seorang gadis di deretan
bangku depan dengan mata besar dan alis yang lebat sudah lama memikat hatinya.
Dia selalu melihat ada kilat basah pada kedua matanya itu. Dia yakin kalau
gadis itu selalu berdoa dengan sungguh-sungguh. Pun ketika melantunkan
lagu-lagu pujian. Tampaknya ada semacam kerinduan yang mendalam dari gadis itu
kepada Tuhan. Lantas dia merasa harus mengenal gadis itu sesegera mungkin. Ya,
sesegera mungkin.
"Shalom,"
sapanya sembari tersenyum ketika gadis itu baru saja hendak mendaratkan sebelah
kakinya dari anak tangga ke lantai dasar. Degup jantung lantas dirasa lebih
cepat, sebab sebentar lagi dia akan bisa memandang mata besar yang senantiasa
basah dan dahi yang tampak berkilat dengan sangat jelas.
“Shalom.”
Gadis itu kaget dan tersipu. Sungguh pemandangan yang terjadi seperti dalam
film-film romantis tahun 70an di mana istilah malu-malu kucing atau jinak-jinak
merpati sering didengar. Hanya saja ada sebuah pertanyaan membuat segalanya
berbeda.
“Ada
apa, Kak?”
Lelaki
muda itu menelan ludah sebelum bercerita panjang lebar tentang ketertarikan
dirinya kepada gadis itu. Terlebih dia sudah berulang kali melihat gadis itu
menangis ketika berdoa. Lantas dia mengulurkan tangan sambil menyebutkan nama
sambil berharap gadis itu pun melakukan hal yang sama.
“Anjas.”
Sekali lagi diucapkan namanya. Kali ini terasa lebih tegas karena gadis itu tak
menyambut uluran tangannya terlebih mengucapkan nama. Dan dia kembali termangu
ketika tiba-tiba yang dihadapinya hanyalah kekosongan, karena gadis itu berlari
menjauh.
Minggu
berikutnya, dia masih menjumpai pemandangan yang sama. Gadis di deretan bangku
depan, hanya saja jerawat di dahinya sudah tidak ada. Makin sempurna
kecantikannya, demikian pikirnya. Tiba-tiba dia seperti disadarkan sudah
beberapa minggu dia datang ke gereja untuk melihat gadis itu dan hal itu
membuatnya tidak khusyuk berdoa kepada Tuhan. Pandangannya kini menghujam di
lantai keramik. Di depan, pendeta yang sedang berkotbah mengumumkan ‘altar
call’. Dan ujung matanya menangkap gadis itu beranjak dari bangkunya.
“Shalom,
Kak Anjas.”
Dia
dikejutkan dengan sapaan yang pernah didengarnya. Hanya saja kali ini ada nada
riang dari sapaan itu, tidak seperti waktu dia mendengar jawaban yang
terbata-bata dan penuh kemuraman. Dilihatnya gadis idamannya sudah berdiri di
depannya dan mengulurkan tangan kepadanya. Menanti disambut.
“Hana.”
Demikianlah
sebuah nama meluncur dari bibirnya. Dia masih tidak percaya. Matanya menatap ke
arah mata besar yang masih menyisakan kilat basah karena menangis. Perlahan
tapi kemudian menjadi gerak yang cepat dan agak tergopoh, dia menyambut tangan
gadis yang kini telah bernama baginya.
“Shalom,
Hana.”
Senyumnya
pun mengembang. Tangan yang dijabatnya kemudian terasa terayun ke belakang,
tanda minta dilepaskan dari jabatan tangannya, membuat dia merasa malu telah
terlena.
Tak
lama keduanya pun mulai bertukar kisah tentang berapa lama berbakti di gereja
itu, sekolah di mana, dan keluarga dengan akrab. Sementara di luar, angin yang
membawa awan mendung melempar-lempar sebuah daun dari jalan ke halaman gereja.
+++
“Aku
ingin kamu mendengar sebuah cerita, Mas.”
Hana
menatap Anjas dengan tatapan yang sangat memelas. Yang ditatap merasa sangat
kaget dengan tatapan seperti itu. Seharusnya suasana di antara mereka berdua
adalah suasana yang indah, karena kurang dari tiga bulan lagi Anjas berjanji
akan membawa keluarganya untuk meminta Hana sebagai istrinya.
“Tapi
sebelumnya, aku minta kamu berjanji untuk tidak marah.”
Mendengar
kalimat kedua yang keluar dari mulut kekasihnya membuat ia berpikir bahwa Hana
akan menyampaikan sesuatu yang buruk. Sesuatu yang bisa dianggap sebagai
rahasia seorang gadis semanis dia. Dia mencoba menatap dalam-dalam ke mata Hana
yang masih memancarkan rasa cemas.
Lidahnya
terasa kelu untuk mengiyakan atau menolak permintaan Hana. Dia masih berpikir
Hana akan membuat satu pengakuan. Mungkin pengakuan yang pernah dia dengar dari
kawan-kawannya tentang seorang gadis yang mengaku kalau dirinya tidak perawan
lagi ketika hendak menikah. Dia menarik nafas dalam-dalam. Sungguh, dia tidak
punya alasan untuk marah atau tidak. Dan dia pun tidak mengerti apakah dia
harus kecewa atau menghadapi hal semacam itu dengan biasa-biasa saja. Lagi-lagi
dia hanya bisa menatap mata Hana. Sepasang mata yang bulat besar dan selalu
memancarkan kilat basah. Mata yang telah mengikatnya pada enam bulan perjalanan
cinta gadis dan jejaka.
“Apakah
…”
Hanya
itu yang keluar dari mulutnya. Dia tidak mampu bertanya lebih lanjut.
Sejujurnya dia menunggu reaksi dari dirinya sendiri apabila sangkaannya itu
benar adanya. Mata itu masih menatap lekat kepadanya. Pasrah. Benar-benar
basah.
Dilihatnya
Hana pun hanya mengangguk lalu memalingkan wajahnya ke arah jendela. Cahaya
matahari membuat wajahnya tampak lebih terang. Dia menghela nafas panjang.
Seperti tengah melepas beban yang sangat berat. Tapi kemudian yang terjadi
adalah Hana berdiri dan melangkah ke arah pintu.
“Kak.
Kenapa kamu tidak bertanya apa yang membuat aku tidak perawan lagi?”
Hana
mulai menangis. Sementara dia menduga Hana, dengan pertanyaannya itu, sudah
pasti menganggapnya egois. Sama seperti lelaki lain yang menginginkan gadis
idamannya masih dalam keadaan suci ketika dinikahi. Seperti Shinta, seorang
dewi yang dijaga kesuciannya selama diculik oleh raja raksasa Rahwana dan juga
lolos tanpa luka di hari pembakaran api suci oleh suaminya Rama. Padahal dia
hanya merasakan kebimbangan untuk bersikap. Apakah dia akan mencontoh
kelembutan ucapan Isa saaat bertemu seorang pelacur Samaria di tepi sumur atau
ia akan ikut menangis bersama calon istri yang dicintainya dan menganggap dunia
memang begitu jahat.
Dia membiarkan Hana melangkah keluar
rumah tanpa berusaha mencegahnya. Dia tidak ingin merusak kesedihan, karena
kesedihan adalah ruangan yang paling dekat dengan ruang Tuhan. Maka
dibiarkannya Hana membawa pulang kesedihannya sebagaimana dia mengundang masuk
kesedihannya sendiri ke dalam hati.
Pagi hari, ketika dia mencabut
charger telepon genggamnya, dia menemukan sejumlah pesan pendek yang belum
terbaca. Semuanya dari Hana. Salah satu pesan pendek yang membuatnya begitu
bahagia adalah tentang doa dan pengampunan dari Hana untuk orang-orang yang
telah memperkosanya beberapa tahun silam. Kini dia tahu betapa Hana lebih baik
dari wanita-wanita yang pernah dia baca kisah-kisahnya. Hana baginya adalah
gadis idaman yang paling dia dambakan.
Dia masih
memandang jejak putih di jari manisnya. Jejak berbentuk garis
melingkar yang berwarna lebih putih dibandingkan kulit coklatnya. Jejak
itu ditinggalkan oleh sebentuk cincin yang pernah melingkari jari
manisnya itu. Sebentar di ruangan yang hanya terdengar suara berita dari
televisi itu terdengar hela nafasnya. Sepertinya dia benar-benar merasa
kehilangan.
+++
"Apa perlu kita gadaikan dulu Bu, cincin ini?" Ditatapnya lekat mata
istrinya yang sejak tadi mengeluh tentang beras yang sudah habis, susu
anak yang belum terbeli, dan tagihan yang menumpuk di atas meja. Hanya
itu usul yang tercetus setelah dia berpikir keras tentang cara
mendapatkan uang untuk memenuhi keluhan Sang Istri.
"Janganlah Pak. Hanya itu satu-satunya perhiasan yang kita punya.
Lagipula itu 'kan cincin pernikahan. Tidak baik jika digadaikan."
Sebenarnya dia juga tidak tega jika tanda pernikahan mereka tak lagi
terpasang di tempatnya. Di jari manis tangan kanan suaminya. Keduanya
masih muda. Umur tigapuluhan. Wajah suaminya, meskipun biasa-biasa saja,
tapi masih terlihat muda. Wajar jika ia bisa dikira masih bujangan.
"Tapi Bu? Kita sudah sangat terdesak. Besok orang bank pasti sudah
datang menagih hutang."
Akhirnya dari mulut mungil Si Istri terdengar kalimat pendek tanda
pasrah. Dia juga sudah tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengatasi
kondisi ekonomi rumah tangganya. Sejak dia hamil dan sering terjadi
pendarahan, suaminya menyarankan agar dia berhenti bekerja dan total
menjadi ibu rumah tangga. Sejak itu pula dia hanya bergantung pada
penghasilan suaminya.
"Terserah Bapak sajalah."
Maka pada pagi harinya, sebelum sampai di kantor, dia datang ke
pegadaian. Dipandanginya flag chain di dalam ruangan berwarna hijau itu
yang bertulisan "Menyelesaikan Masalah Tanpa Masalah." Di bibirnya
tiba-tiba tersungging sebuah senyuman. Betulkah ada masalah yang bisa
selesai tanpa menimbulkan masalah lain? Apakah sebuah ketenangan setelah
membayar hutang dengan berhutang bukan sebuah masalah? Dia tahu benar
bahwa setelah pergi ke tempat ini, dia harus segera mencari pekerjaan
sampingan atau mengirimkan puisi dan cerita pendek ke berbagai surat
kabar agar mendapat uang guna mengambil kembali barang jaminan.
Tapi ini kali pertama dia ke pegadaian. Dengan cermat dia memperhatikan
bagaimana cara seorang meminjam uang. Dia mengikuti apa yang dilakukan
oleh seorang di depan dia yang menuliskan sesuatu pada sebuah formulir
dari kertas fotokopian di sebuah meja kecil. Dan tak lama sesudahnya, ia
pun ikut-ikutan menyerahkan form dan cincin kawinnya pada seorang
petugas di pojok kanan meja layanan. Lalu dengan cemas memandang jam
dinding yang telah menunjukkan pukul delapan lebih, dia duduk di antara
kerumunan ibu-ibu yang entah menunggu apa.
Sekali lagi dia menghela nafas panjang. Ada semacam kelegaan karena tak
lama kemudian orang yang tadi berada di depan dia sudah dipanggil untuk
ditaksir jumlah pinjamannya. Pasti tak lama lagi, pikirnya. Dan benar
juga, dia pun akhirnya dipanggil.
"Tujuh ratus ribu, ya Pak?"
Dia sedikit terkejut. Antara mengerti bahwa cincin kawinnya ditaksir
senilai tujuh ratus ribu dan sedih karena cincin yang dulu dibelinya
seharga satu juta lima ratus ribu hanya dihargai segitu saja. Tapi dia
tidak punya pilihan, uang sebanyak tujuhratus ribu sudah cukup untuk
membayar tagihan, membeli sekaleng susu, dan 10 kilogram beras.
"Ya," tukasnya cepat dan pendek seketika dia tersadar dari kemelut
pikiran di dalam kepalanya.
+++
"Sisanya tiga ratus ribu, Bu."
Di depan istrinya, dia menyerahkan enam lembar pecahan limapuluh ribu ke
tangan istrinya. Istrinya tampak kecut. Dia mengira istrinya tidak bisa
terima dengan upayanya.
"Kamu kenapa, Bu?" Dia mencoba mencairkan suasana.
"Tidak ada apa-apa." Pendek saja jawabnya. Dia berpikir keras apa yang
sedang dipikirkan istrinya terhadap dia setelah dia menggadaikan cincin
kawin itu.
"Maafkan aku, Bu. Aku belum bisa membahagiakan kamu dan anakmu." Dia
berusaha menyentuh perasaan istrinya dengan kalimat-kalimat yang tampak
pasrah.
Istrinya tetap tidak menjawab. Yang dilakukannya adalah menyimpan uang
itu di lemari, dan segera menyusul anaknya yang tertidur di kamar.
Dia kembali menghela nafas. Membuka kemejanya dan melangkah ke arah
belakang. Mandi.
+++
Seorang gadis duduk di sebelahnya di bus kota. Gadis yang manis.
Rambutnya yang panjang tergerai sesekali menerpa pipi, leher dan
pundaknya karena tertiup angin. Menyisakan wangi entah syampu atau
sejenis vitamin rambut. Dia menoleh ke arah gadis itu.
"Maaf," gadis itu segera merapikan rambutnya. Mengikatnya ekor kuda.
"Tidak mengapa," jawabnya pendek. Dalam hatinya dia menyukai wangi yang
terhidu olehnya. Dia begitu ingin menciumnya lagi. Diliriknya gadis itu
baik-baik. Memang cantik, pikirnya. Jemari tangan kirinya menyentuh jari
manisnya. Kosong. Tidak ada cincin kawin di situ.
"Boleh kenalan?" Ujarnya tiba-tiba.
melingkar yang berwarna lebih putih dibandingkan kulit coklatnya. Jejak
itu ditinggalkan oleh sebentuk cincin yang pernah melingkari jari
manisnya itu. Sebentar di ruangan yang hanya terdengar suara berita dari
televisi itu terdengar hela nafasnya. Sepertinya dia benar-benar merasa
kehilangan.
+++
"Apa perlu kita gadaikan dulu Bu, cincin ini?" Ditatapnya lekat mata
istrinya yang sejak tadi mengeluh tentang beras yang sudah habis, susu
anak yang belum terbeli, dan tagihan yang menumpuk di atas meja. Hanya
itu usul yang tercetus setelah dia berpikir keras tentang cara
mendapatkan uang untuk memenuhi keluhan Sang Istri.
"Janganlah Pak. Hanya itu satu-satunya perhiasan yang kita punya.
Lagipula itu 'kan cincin pernikahan. Tidak baik jika digadaikan."
Sebenarnya dia juga tidak tega jika tanda pernikahan mereka tak lagi
terpasang di tempatnya. Di jari manis tangan kanan suaminya. Keduanya
masih muda. Umur tigapuluhan. Wajah suaminya, meskipun biasa-biasa saja,
tapi masih terlihat muda. Wajar jika ia bisa dikira masih bujangan.
"Tapi Bu? Kita sudah sangat terdesak. Besok orang bank pasti sudah
datang menagih hutang."
Akhirnya dari mulut mungil Si Istri terdengar kalimat pendek tanda
pasrah. Dia juga sudah tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengatasi
kondisi ekonomi rumah tangganya. Sejak dia hamil dan sering terjadi
pendarahan, suaminya menyarankan agar dia berhenti bekerja dan total
menjadi ibu rumah tangga. Sejak itu pula dia hanya bergantung pada
penghasilan suaminya.
"Terserah Bapak sajalah."
Maka pada pagi harinya, sebelum sampai di kantor, dia datang ke
pegadaian. Dipandanginya flag chain di dalam ruangan berwarna hijau itu
yang bertulisan "Menyelesaikan Masalah Tanpa Masalah." Di bibirnya
tiba-tiba tersungging sebuah senyuman. Betulkah ada masalah yang bisa
selesai tanpa menimbulkan masalah lain? Apakah sebuah ketenangan setelah
membayar hutang dengan berhutang bukan sebuah masalah? Dia tahu benar
bahwa setelah pergi ke tempat ini, dia harus segera mencari pekerjaan
sampingan atau mengirimkan puisi dan cerita pendek ke berbagai surat
kabar agar mendapat uang guna mengambil kembali barang jaminan.
Tapi ini kali pertama dia ke pegadaian. Dengan cermat dia memperhatikan
bagaimana cara seorang meminjam uang. Dia mengikuti apa yang dilakukan
oleh seorang di depan dia yang menuliskan sesuatu pada sebuah formulir
dari kertas fotokopian di sebuah meja kecil. Dan tak lama sesudahnya, ia
pun ikut-ikutan menyerahkan form dan cincin kawinnya pada seorang
petugas di pojok kanan meja layanan. Lalu dengan cemas memandang jam
dinding yang telah menunjukkan pukul delapan lebih, dia duduk di antara
kerumunan ibu-ibu yang entah menunggu apa.
Sekali lagi dia menghela nafas panjang. Ada semacam kelegaan karena tak
lama kemudian orang yang tadi berada di depan dia sudah dipanggil untuk
ditaksir jumlah pinjamannya. Pasti tak lama lagi, pikirnya. Dan benar
juga, dia pun akhirnya dipanggil.
"Tujuh ratus ribu, ya Pak?"
Dia sedikit terkejut. Antara mengerti bahwa cincin kawinnya ditaksir
senilai tujuh ratus ribu dan sedih karena cincin yang dulu dibelinya
seharga satu juta lima ratus ribu hanya dihargai segitu saja. Tapi dia
tidak punya pilihan, uang sebanyak tujuhratus ribu sudah cukup untuk
membayar tagihan, membeli sekaleng susu, dan 10 kilogram beras.
"Ya," tukasnya cepat dan pendek seketika dia tersadar dari kemelut
pikiran di dalam kepalanya.
+++
"Sisanya tiga ratus ribu, Bu."
Di depan istrinya, dia menyerahkan enam lembar pecahan limapuluh ribu ke
tangan istrinya. Istrinya tampak kecut. Dia mengira istrinya tidak bisa
terima dengan upayanya.
"Kamu kenapa, Bu?" Dia mencoba mencairkan suasana.
"Tidak ada apa-apa." Pendek saja jawabnya. Dia berpikir keras apa yang
sedang dipikirkan istrinya terhadap dia setelah dia menggadaikan cincin
kawin itu.
"Maafkan aku, Bu. Aku belum bisa membahagiakan kamu dan anakmu." Dia
berusaha menyentuh perasaan istrinya dengan kalimat-kalimat yang tampak
pasrah.
Istrinya tetap tidak menjawab. Yang dilakukannya adalah menyimpan uang
itu di lemari, dan segera menyusul anaknya yang tertidur di kamar.
Dia kembali menghela nafas. Membuka kemejanya dan melangkah ke arah
belakang. Mandi.
+++
Seorang gadis duduk di sebelahnya di bus kota. Gadis yang manis.
Rambutnya yang panjang tergerai sesekali menerpa pipi, leher dan
pundaknya karena tertiup angin. Menyisakan wangi entah syampu atau
sejenis vitamin rambut. Dia menoleh ke arah gadis itu.
"Maaf," gadis itu segera merapikan rambutnya. Mengikatnya ekor kuda.
"Tidak mengapa," jawabnya pendek. Dalam hatinya dia menyukai wangi yang
terhidu olehnya. Dia begitu ingin menciumnya lagi. Diliriknya gadis itu
baik-baik. Memang cantik, pikirnya. Jemari tangan kirinya menyentuh jari
manisnya. Kosong. Tidak ada cincin kawin di situ.
"Boleh kenalan?" Ujarnya tiba-tiba.
Wednesday, August 06, 2008
Akhir-akhir
ini, pada berita nasional ada pihak-pihak yang menginginkan pemerintah meninjau
kembali UU No. 2/Pnps/Tahun 1964 tentang Hukuman Mati. Seorang penggiat HAM
bahkan meminta Komnas HAM untuk bertindak tegas terhadap pelaksanaan hukuman
mati, terhadap siapapun di Indonesia, dengan menyarankan proses yang intensif
dari Pemerintah dalam rehabilitasi bagi narapidana di lembaga pemasyarakatan.
Tetapi yang sering menjadi sorotan dalam hal penolakan UU hukuman mati itu
adalah TPM yang sudah meminta peninjauan UU itu kepada Mahkamah Konstitusi.
Secara pribadi, saya setuju bahwa Indonesia adalah Negara yang dilandaskan atas hukum. Dan dari sisi hukum, perlu ada aturan yang membuat ngeri agar orang tidak bertindak jahat. Perlu diingat, sudah ada hukuman mati pun ternyata masih banyak orang yang demi hal-hal sepele tega menghilangkan nyawa orang lain! Bagaimana jika tidak ada final punishment seperti hukuman mati? Menurut hemat saya, UU hukuman mati wajib adanya sebelum angka kriminalitas dengan disertai pembunuhan turun dengan sangat drastis di negeri ini.
Yang membuat saya cukup heran, kenapa sepertinya kejadian belakangan ini memihak? Pada waktu Tibo cs. dihukum mati, banyak orang yang sepertinya setuju dengan hukuman mati, padahal Kepausan Roma sampai mengirim surat, yang diterima oleh Wakil Presiden RI, agar pemerintah menimbang kembali keputusan pelaksanaan hukuman mati itu. Demikian juga saat Sumiarsih dan Sugeng dihukum mati, tidak ada "ribut-ribut" untuk meninjau kembali UU itu. Dan yang lebih lucu lagi, alasan peninjauan kembali itu adalah proses pelaksanaan hukuman mati yang dengan menggunakan cara ditembak itu. Konon, menurut si pengusul, ditembak itu menimbulkan proses penyiksaan. Oleh karena itu, si pengusul menyarankan agar penembakan mati digantikan dengan hukum pancung yang mana dengan bermacam alasan dikatakan tidak menimbulkan rasa sakit kepada si terhukum. Ini jelas alasan yang mengada-ada. Bagaimana dia bisa mengemukakan setelah kepala terpenggal maka tidak ada unsur penyiksaan lagi bagi si terhukum?
Rasa sakit itu munculnya dari otak memang, dan di sekolah menengah pasti hampir semua siswa di Indonesia pernah mengorek serabut otak katak demi mengesahkan teori gerak otot yang bisa diperintah otak, dan ada juga otot yang bekerja tanpa perlu perintah otak. Apakah setelah otak itu hilang, otot-otot tubuh tidak tersiksa akibat hilang koordinasi sebelum mengalami kematian?
Kematian yang tidak disadari (sehingga tidak menimbulkan rasa sakit) justru sering terjadi "mobil-mobil goyang" di Ancol. Penyebabnya adalah keracunan CO. Kenapa tidak ini saja yang diusulkan oleh si pengusul? Alasannya jelas, tidak ada rasa sakit dan terhukum mati hanya langsung tidak sadar dan tidak bangun lagi plus (ini lebih penting) kepalanya tetap utuh dan menempel di badannya.
Tapi ada pertanyaan lain yang pernah diajukan oleh asisten domestik di rumah saya, "Itu yang penembaknya dosa tidak ya?" Wah, jika sudah bicara dosa dan agama saya lantas teringat bagaimana seorang wanita yang dituduh pelacur (banyak yang mengatakan bahwa wanita itu Maria Magdalena) diselamatkan oleh Yesus dari hukum rajam. Terlepas dari peristiwa itu menunjukkan betapa Yesus sangat mengerti Taurat, karena para penuduh tidak lengkap bukti-buktinya sehingga tidak valid jika ada yang dijatuhi hukum rajam, yang ingin disampaikan oleh Yesus ketika itu adalah hukuman itu haruslah datangnya dari Tuhan saja. Sebab Tuhan itu Maha Pengampun sekaligus Maha Penghukum, sehingga tidak wajibkan dalam agama kristen seseorang menghukum orang lain karena kesalahannya. Melainkan dia harus selalu mengampuni orang lain setiap saat.
Dengan kontradiksi antara hukum negara dan hukum agama, saya kembali merujuk perkataan Yesus ketika ditanya soal pajak. Dia malah bertanya kepada orang-orang yang bertanya "Ada gambar siapa di mata uang kalian?" Lalu ketika orang-orang itu menjawab bahwa di mata uang itu terdapat gambar kepala Kaisar Roma, Yesus pun kembali berkata bahwa dengan demikian mereka harus melakukan kewajibannya kepada yang Kaisar, sebab itu memang hak dari Kaisar atas pajak.
Secara pribadi, saya setuju bahwa Indonesia adalah Negara yang dilandaskan atas hukum. Dan dari sisi hukum, perlu ada aturan yang membuat ngeri agar orang tidak bertindak jahat. Perlu diingat, sudah ada hukuman mati pun ternyata masih banyak orang yang demi hal-hal sepele tega menghilangkan nyawa orang lain! Bagaimana jika tidak ada final punishment seperti hukuman mati? Menurut hemat saya, UU hukuman mati wajib adanya sebelum angka kriminalitas dengan disertai pembunuhan turun dengan sangat drastis di negeri ini.
Yang membuat saya cukup heran, kenapa sepertinya kejadian belakangan ini memihak? Pada waktu Tibo cs. dihukum mati, banyak orang yang sepertinya setuju dengan hukuman mati, padahal Kepausan Roma sampai mengirim surat, yang diterima oleh Wakil Presiden RI, agar pemerintah menimbang kembali keputusan pelaksanaan hukuman mati itu. Demikian juga saat Sumiarsih dan Sugeng dihukum mati, tidak ada "ribut-ribut" untuk meninjau kembali UU itu. Dan yang lebih lucu lagi, alasan peninjauan kembali itu adalah proses pelaksanaan hukuman mati yang dengan menggunakan cara ditembak itu. Konon, menurut si pengusul, ditembak itu menimbulkan proses penyiksaan. Oleh karena itu, si pengusul menyarankan agar penembakan mati digantikan dengan hukum pancung yang mana dengan bermacam alasan dikatakan tidak menimbulkan rasa sakit kepada si terhukum. Ini jelas alasan yang mengada-ada. Bagaimana dia bisa mengemukakan setelah kepala terpenggal maka tidak ada unsur penyiksaan lagi bagi si terhukum?
Rasa sakit itu munculnya dari otak memang, dan di sekolah menengah pasti hampir semua siswa di Indonesia pernah mengorek serabut otak katak demi mengesahkan teori gerak otot yang bisa diperintah otak, dan ada juga otot yang bekerja tanpa perlu perintah otak. Apakah setelah otak itu hilang, otot-otot tubuh tidak tersiksa akibat hilang koordinasi sebelum mengalami kematian?
Kematian yang tidak disadari (sehingga tidak menimbulkan rasa sakit) justru sering terjadi "mobil-mobil goyang" di Ancol. Penyebabnya adalah keracunan CO. Kenapa tidak ini saja yang diusulkan oleh si pengusul? Alasannya jelas, tidak ada rasa sakit dan terhukum mati hanya langsung tidak sadar dan tidak bangun lagi plus (ini lebih penting) kepalanya tetap utuh dan menempel di badannya.
Tapi ada pertanyaan lain yang pernah diajukan oleh asisten domestik di rumah saya, "Itu yang penembaknya dosa tidak ya?" Wah, jika sudah bicara dosa dan agama saya lantas teringat bagaimana seorang wanita yang dituduh pelacur (banyak yang mengatakan bahwa wanita itu Maria Magdalena) diselamatkan oleh Yesus dari hukum rajam. Terlepas dari peristiwa itu menunjukkan betapa Yesus sangat mengerti Taurat, karena para penuduh tidak lengkap bukti-buktinya sehingga tidak valid jika ada yang dijatuhi hukum rajam, yang ingin disampaikan oleh Yesus ketika itu adalah hukuman itu haruslah datangnya dari Tuhan saja. Sebab Tuhan itu Maha Pengampun sekaligus Maha Penghukum, sehingga tidak wajibkan dalam agama kristen seseorang menghukum orang lain karena kesalahannya. Melainkan dia harus selalu mengampuni orang lain setiap saat.
Dengan kontradiksi antara hukum negara dan hukum agama, saya kembali merujuk perkataan Yesus ketika ditanya soal pajak. Dia malah bertanya kepada orang-orang yang bertanya "Ada gambar siapa di mata uang kalian?" Lalu ketika orang-orang itu menjawab bahwa di mata uang itu terdapat gambar kepala Kaisar Roma, Yesus pun kembali berkata bahwa dengan demikian mereka harus melakukan kewajibannya kepada yang Kaisar, sebab itu memang hak dari Kaisar atas pajak.
Monday, May 26, 2008
Sejarah
masuknya bangsa Cina ke Indonesia di tanah Jawa sangat akrab dengan legenda
laksamana Cheng Ho (Zheng He) yang terkenal itu. Maka ketika saya mendapat
tugas supervisi acara grebek pasar yang diselenggarakan oleh sebuah stasiun
televisi swasta, saya berkeinginan untuk bisa sampai di kuil Sam Po Kong yang
termasyhur itu.
Keberangkatan
pesawat dari Bandara Soekarno-Hatta tertunda sekitar satu jam - konon oleh
adanya awan tebal dan kabut di atas pantai utara Jawa – menyebabkan saya baru
bisa menginjakkan kaki di Semarang pada pukul delapan malam. Seorang pengemudi
mobil rental langsung menyambut dengan sedikit menggerutu karena dia sudah
menunggu sejak pukul enam sore di Bandara A. Yani. Dan tidak lama kemudian,
kami sudah menuju ke arah Semarang Atas ke daerah bernama Candi.
Malam
itu, karena kami buta sama sekali tentang Semarang, seusai mandi kami hanya
“turun” sedikit untuk mencari makan. Atas saran pengemudi mobil rental itu,
kami mencicipi gudeg di sebuah warung pinggir jalan. Seorang teman, Alvin
namanya, berbisik bahwa dia merasakan sugesti negatif pada perutnya lantaran
melihat Ibu penjual gudeg itu menyiapkan makanan kami dengan tangan, tanpa
sendok. Dari sejak datang rupanya dia memperhatikan hal itu. Dan sebenarnya dia
sangat berharap Ibu penjual gudeg itu tidak menerima uang karena dia menyiapkan
makanan dengan tangan. Akan tetapi harapan dia musnah, karena Ibu tersebut
ternyata menerima uang juga dengan tangan. Walhasil, setiba di hotel teman
tersebut buru-buru masuk kamar mandi.
Paginya,
perjalanan kami ke daerah Pecinan dimulai. Seorang teman yang memang lahir dan
besar di Semarang mengajak kami sarapan di sebuah kedai soto. Soto Bokoran
sebutannya. Kata Luki, teman yang asli Semarang itu, soto tersebut lebih nikmat
dibandingkan dengan Soto Bangkong. Saya tidak bisa membedakan karena memang
belum pernah mencicipi kedua jenis soto tersebut. Soto ayam yang dicampur nasi
di dalam sebuah mangkuk kecil, disertai dengan lauk pelengkap seperti pindang
telur, sate kerang, tempe bacem, ternyata memang nikmat. Goreng bawang putih
yang ditabur di atasnya menjadikan aroma yang khas.
Pemandangan
di kedai Soto Bokoran yang terletak di Gang Pinggir ini betul-betul unik. Kedai
yang kecil dipadati oleh pengunjung sampai ke bagian depan. Dan pengunjungnya
mayoritas dari kalangan TiongHoa. Alvin dan Ndaru yang beragama Islam bertanya
kepada Luki tentang kehalalan soto tersebut. Setahu Luki, meskipun tidak ada
tanda halalnya, soto ayam itu murni soto ayam biasa. Masyarakat Tionghoa di
Semarang rata-rata disiplin soal hal yang sensitif seperti itu. Dia justru
menyarankan Alvin dan Ndaru untuk berhati-hati pada penjual mi ayam atau mi
Jawa di pinggir jalan, karena ada dari mereka yang menggunakan minyak / lemak
babi.
Gang
Pinggir ternyata baru sebagian kecil kehidupan dan gambaran masyarakat Tionghoa
di Pecinan Semarang. Sepenglihatan saya ketika melintasi daerah itu, setidaknya
ada dua buah vihara kecil di sekitaran daerah itu. Saya kembali teringat pada
Kuil Sam Po Kong itu.
Hampir
setengah hari, kami menghabiskan waktu di Pasar Bulu. Pasar ini termasuk pasar
yang sudah cukup tua di Semarang. Pasar ini terletak di depan taman Tugu Muda.
Tak jauh dari Pasar sudah berdiri gagah bangunan kuno yang terkenal
keangkerannya ; Lawang Sewu. Ndaru, si pengemudi mobil rental itu, berkali-kali
mempromosikan diri pernah mengantar turis lokal seperti kami untuk memasuki
Lawang Sewu, bahkan menurut dia yang paling seram dan tidak enak perasaannya
ketika memasuki penjara bawah tanah yang gelap dan lembab. Kami tidak banyak
menanggapi, karena Alvin dan Luki tidak mau mencoba untuk berpartisipasi dalam
tur semacam itu. Saya hanya berkomentar alangkah sayangnya bangunan bersejarah
seperti itu dibiarkan hancur dimakan waktu. Pada pelataran Lawangsewu
setidaknya ada dua buah bangunan semi permanent yang berfungsi sebagai semacam
pos penjagaan sekaligus warung. Saya pun teringat pada Istana Maimun di Kota
Medan yang tidak bisa lagi dinikmati bagian depannya dari jalan raya karena
tertutup oleh bentangan warung makan yang konon dimiliki oleh ahli waris Istana
tersebut.
Siangnya,
Luki kembali mengajak saya makan di daerah pecinan. Di sana, menurutnya, ada
sebuah kedai rumahan seperti Soto Bokoran tadi tetapi yang ini menyajikan
masakan dari daging babi. Luki menambahkan makanan di situ yang paling enak
adalah sate dagingnya, karena dagingnya betul-betul disajikan tanpa lemak.
Berbeda di tempat-tempat lain bahkan di Jakarta. Mengingat Alvin dan Ndaru,
saya menolak ajakannya. Dan saya sarankan untuk mencari tempat makan yang lain.
Akhirnya siang itu kami memutuskan untuk mencoba mencicipi lumpia yang terkenal
di Semarang. Luki mengarahkan kami kembali ke daerah pecinan, tetapi kali ini
di sebuah jalan bernama Gang Lombok. Sambil makan, Luki memberitahu bahwa ejaan
yang benar untuk lumpia adalah Lun Pia yang berarti Kue (Pia) Naga (Lun). Pada
kedai itu, tertulis Lun Pia Rasa Boom. Dan lagi-lagi Luki menjelaskan bahwa
yang dimaksud dengan Boom adalah rebung.
Persis
di sebelah kedai Lun Pia itu, berdiri sebuah kelenteng tua. Bangunannya terbuat
dari kayu hitam bulat. Bahkan pada pintunya terdapat bentukan dari kayu juga
yang berfungsi untuk menahan banjir. Semacam palang pintu tetapi diletakkan di
bagian bawah kusen. Saya dan teman-teman pun masuk ke dalam kelenteng tersebut.
Kebetulan hari itu tidak ada yang sedang beribadah di sana. Klenteng tampak
lengang hanya ada beberapa orang yang tengah mempersiapkan sesaji dan semacam
kertas yang dilipat-lipat. Di tembok bagian kanan, saya tergelitik untuk
mengabadikan sebuah pualam yang dipahat dengan tulisan : Anggaplah hidup kita
itu sebagai impian, sulapan, pelembungan busa, bayangan, embun atau kilat.
Pada
bagian depan klenteng itu, terdapat sebuah miniatur kapal yang cukup besar.
Miniatur itu terletak pada sebuah sungai kecil. Konon, kapal laksamana Cheng Ho
itu dahulu kala bisa berlabuh hingga daerah ini, dengan kata lain sungai kecil
itu dahulunya adalah sebuah sungai yang besar.
Berhubung
masih ada kegiatan lain di Pasar Bulu yang harus kami kerjakan, maka tur
singkat di klenteng tua itu berlangsung singkat. Salah satu bagian yang saya suka
pada klenteng tua itu adalah diorama patung-patung keramik kecil yang
menceritakan tentang darma. Sayangnya di beberapa tempat diorama unik, karena
bentuknya mirip ukiran pada selembar papan kayu yang tidak terlalu tebal itu,
telah mengalami beberapa kerusakan seperti hilangnya kepala beberapa tokoh.
Hari
berikutnya, setelah malamnya kami kecewa karena tidak bisa menemukan Nasi Ayam
Yu Sri yang terkenal itu gara-gara kekeraskepalaan Ndaru, kami berada di Pasar
Jatingaleh. Luki sudah duluan pulang ke Jakarta juga tadi malam, karena ada
urusan keluarga. Lokasi pasar ini cukup dekat dengan Universitas Diponegoro.
Kedekatan lokasi ini menyebabkan kami bisa mampir sebentar ke salah satu warnet
untuk memperbaiki logo produk untuk perlengkapan acara. Setengah hari itu
benar-benar kami habiskan di sana, karena di Pasar Jatingaleh itu acara hanya
boleh berlangsung hingga pukul 3 siang. Setelah selesai acara, malamnya kami
jalan-jalan di daerah simpang lima. Menjelang pukul 10, tiba-tiba saya teringat
seorang teman yang ada di Semarang. Saya iseng mengontak dia lewat pesan
pendek. Tak disangka teman itu, Temuzin, menyatakan siap untuk mengantar ke
mana saja kami ingin pergi. Kira-kira lima belas menit dia sudah sampai di
sebuah warung tenda pinggir jalan yang menjual “seafood” tempat kami makan.
Akhirnya,
atas saran dia berhubung tak banyak tempat yang buka sampai larut malam di
Semarang, kami sampai kembali di daerah Pecinan. Saya dan teman-teman cukup
kaget karena ternyata di Semarang kami bisa menjumpai satu ruas jalan yang
ditutup ketika sore hari untuk dijadikan semacam flea market atau pasar malam.
Mirip Kiya-kiya di Surabaya. Menurut Temuzin, pasar malam dadakan ini hanya
berlangsung di hari Sabtu dan Minggu saja. Setelah cukup lama kami berbincang
tentang sejarah Semarang, Wali Sanga, Cheng Ho, kehampirkalahan kekaisaran Ming
oleh bangsa Tartar dan Pramoedya Ananta Toer dengan Temuzin yang ternyata
penyuka sejarah ini, dan setelah dua mangkuk es durian kami tandas, kami pun
berpisah pulang. Temuzin berjanji akan menjemput kami di Pasar Babadan, Ungaran
dan mengantarnya ke Bandara esok harinya.
Hari
ke tiga, dalam perjalanan ke arah Pasar Babadan Ungaran, saya dan Alvin
diberitahu Ndaru keberadaan sebuah pagoda, yang konon terbesar di kawasan Asia
Tenggara. Tak jauh selepas keluar Kota Semarang, di sisi kiri jalan tampak
mencuat atap runcing pagoda yang keemasan. Alvin meminta Ndaru untuk mampir
sebentar di situ. Pagoda itu tampak bersih. Dari pelataran parkir menuju pagoda
ada sebuah pohon yang di sana disebutkan pohon bodhi berasal dari seorang
bikshu. Saya sempat mengabadikan patung budha di dekat pohon itu, dan sebuah
patung dewi kwan Im. Saya dan Alvin saling mengabadikan diri di tangga pagoda,
sebelum kami naik ke bangunan pagoda dan bertemu seorang lelaki tua yang baru
selesai beribadah. Ketika kami bertanya apakah bisa memotret isi pagoda, lelaki
tua itu berkata,”Silakan memotret, tetapi resiko ditanggung sendiri. Coba
kalian potret di malam hari juga. Lalu bandingkan kedua potret itu.” Alvin
merasa terganggu dengan amar lelaki tua itu. Dia mengajak saya agar segera
pergi.
Di
dalam mobil kami berkelakar tentang amar lelaki tua itu, tentang perbedaan
potret malam hari dan siang hari. Saya rasa Alvin sama seperti saya tidak
percaya pada hal-hal yang berbau tahayul. Meskipun untuk soal Lawang Sewu, dia
mengaku tidak berani, takut kesurupan, dan diikuti hantu dari sana.
Pukul tiga sore, kami sudah dijemput oleh Temuzin di Pasar Babadan. Dia mengajak kami makan yang ringan-ringan saja. Akhirnya kami “wisata kuliner” sebentar sebelum pulang, dimulai dari Sate Suruh di daerah Sriwijaya. Ketika teman saya yang lain menelepon untuk sekedar bertanya saya berada di mana, saya salah sebut dengan daerah Siliwangi. Bukan rahasia bahwa sejak Perang Bubat hampir bisa dipastikan tidak ada nama jalan Siliwangi di daerah Jawa Tengah / Timur sebagaimana tidak ada nama jalan Diponegoro di kota-kota di Jawa Barat. Sate Suruh ini berasal dari daerah Klaten. Setelah mencicipi ternyata kental sekali rasa balutan rempah-rempahnya, juga dengan bumbu sambalnya. Mungkin ini kelebihannya.
Setelah
sedikit kenyang, kami mampir ke sebuah toko es krim yang menurut Temuzin sudah
sangat lama berdiri. Dulu toko ini menjadi ajang bermain anak-anak usia SD
karena di bagian atasnya ada mesin permainan dan mainan lain berbentuk mobil,
kuda, dan sebagainya yang bisa dinaiki. Cukup puas mencicipi menu pencuci
mulut, kami melanjutkan belanja Lun Pia di jalan Mataram. Temuzin mengatakan
Lun Pia Mataram juga tak kalah terkenalnya dengan Lun Pia Gang Lombok. Akhirnya
setelah mampir di beberapa tempat seperti Ayam Bakar Tulang Lunak di Jagalan,
dan Toko Oleh-oleh Bonafide, kami pun dibelokkan ke arah Kelenteng Sam Po Kong.
Hanya
saya dan Temuzin yang sangat antusias memasuki Kelenteng terbesar di Semarang
ini, karena Alvin disibukkan dengan panggilan tugas di telepon genggamnya.
Kelenteng Sam Po Kong juga sering disebut sebagai Gedung Batu. Kata Sam Po
sendiri juga merupakan ucapan untuk Laksamana Cheng Ho (Zheng He) yang dulu
pernah menjadi Kasim San Bao (dalam dialek Fujian menjadi San Po / Sam Po) atau
sering disebut orang sebagai Sam Po Tay Djien. Kelenteng ini terletak di daerah
Simongan.
Seingat
saya ada empat bangunan utama di kelenteng Sam Po Kong. Bangunan pertama adalah
ruang ibadah terbesar. Bangunan kedua adalah makam Wang Jinghong yang oleh
lidah orang Jawa disebut Dampo Awang. Di sebelahnya adalah makam Juru Masak
Armada itu yang disebut oleh orang Jawa sebagai Kyai dan Nyai Tumpeng. Dan
bangunan ketiga adalah tempat diletakkannya jangkar Kapal Cheng Ho. Sedangkan
bangunan terakhir tidak kami masuki karena dikhususkan untuk ibadah. Di sekitar
bangunan itu ada gua bawah tanah, dan sumur yang dikeramatkan.
Di
tembok keliling dipasangi plakat pualam yang berisikan kisah-kisah pelayaran
Cheng Ho. Beberapa di antaranya sudah copot dan pecah dari tembok. Beberapa
kisah yang sempat kami diskusikan adalah asal usul Palembang yang dulu disebut
Ba Lin Bang, dan tunduknya Majapahit pada kekaisaran Cina di akhir masa
kehancurannya. Hal ini jarang sekali diungkap oleh guru sejarah di sekolah,
bahwa pada suatu waktu dahulu Indonesia pernah berada di bawah kekuasaan
kekaisaran Cina, dan dari mereka lah kita bisa menemukan beberapa hal lain
semacam kenapa orang Palembang, orang Dayak, orang Manado banyak yang mirip
orang Cina. Salah satu kunci jawabannya ada di Pecinan Semarang.
Dedy
Tri Riyadi
Thursday, March 13, 2008
Buku ini sudah lama saya lihat covernya semenjak bergabung di Apresiasi-Sastra. Sebuah komunitas berbasis mailing-list yang banyak sekali dihuni oleh penulis-penulis yang kompeten di bidangnya. Buku ini merupakan hasil lomba cerita pendek yang diadakan sebagai peringatan ulang tahun pertama komunitas ini.
Lomba cerpen itu ditujukan untuk penulis perempuan dengan tema "Masa Kecil" dan dari 21 naskah yang masuk, setelah diseleksi oleh 13 kritikus lelaki, jadilah 10 naskah cerpen yang diterbitkan menjadi buku ini.
Penggagas Apresiasi-Sastra, Djodi Budi Sambodo, dalam kata pengantarnya menyebutkan salah satu tujuan dari karya-karya ini adalah menjernihkan kemanusiaan kita di tengah-tengah kepungan materi. Dan selaras dengan itu, maka 10 cerpen dalam buku ini benar-benar terasa begitu alami menstimulasi kenangan dari dalam diri kita.
Dalam cerpen pertama, Putaran Batu, persoalan yang sedang dihadapi oleh tokohnya tidaklah menjadi penting bagi kita. Tetapi yang ditonjolkan adalah pengalaman masa kecil yang pada akhirnya seakan-akan memberi kita kekuatan untuk bisa mengatasi ketakutan kita. Dan ketakutan masa kecil ternyata merupakan ketakutan karena ketidaktahuan kita sebagai kanak-kanak. Ketidaktahuan semacam itulah yang banyak dijabarkan sebagai titik awal penggalian masa kanak-kanak. Seperti pada cerita ; "Papa Menepuk Nyamuk, Sayang", "Jemputan Sepeda Mama", dan "Segiempat bukan Segitiga."
Namun di saat para penulis merenungkan bahwa masa kecil adalah bagian yang justru menjulur hingga masa kini, pembaca disuguhkan pada kesimpulan-kesimpulan kecil yang mau tak mau harus membuat kita tersenyum, meskipun kadang getir. Pada cerita "Dilarang Membenci Becak", dan "Sedikit Kenangan Tersisa".
Cerita terakhir, justru agak berbeda karena sebenarnya Achoi memang masih kecil, dan tokoh aku juga tidak sedang menceritakan masa lalu dirinya. Spoiler yang ada di belakang buku juga sama sekali tidak menggambarkan inti cerita sesungguhnya bahkan seakan berusaha mengecohkan harapan pembaca pada cerita "Sesuatu yang Bernama Kenangan".
Dari sisi lay-out dan tipologi, buku ini sepertinya memang dirancang sangat serius agar bisa dinikmati. Akan tetapi dua buah spoiler di belakang sampul buku ini benar-benar sesuatu yang seharusnya tidak perlu. Spoiler untuk "Hantu di Kamar Baru" membuat pembaca langsung bisa membaca apa sebenarnya yang ingin diutarakan oleh penulisnya.
Secara keseluruhan Selasar Kenangan sangat menarik untuk dibaca, hanya saja ketika membukanya di halaman awal saya cukup kaget melihat puisi kolaborasi yang disajikan itu. Saya kira itu adalah daftar isi karena ada angka dan nama. Cukup rumit.
Dedy Tri Riyadi.
MENYIKAPI KEBOHONGAN-
KEBOHONGAN YANG NYATA
KEBOHONGAN YANG NYATA
Pagi mantan remaja 80-an seperti saya, nama Gola Gong tentunya sudah tidak asing lagi. Lewat serial cerita pendeknya Balada Si Roy di majalah Hai kualitasnya sebagai penulis cerita pendek bahkan novel sudah tidak diragukan lagi. Medio 2007 saya akhirnya baru sempat berjabat tangan dengan dia di sanggarnya yang dikenal sebagai Rumah Dunia. Di sana pula saya mengenal beberapa nama yang dikenal sebagai penyair dan ternyata menyumbang naskah cerita pendek di dalam buku ini.
Buku ini punya tujuan yang mulia, yakni menggalang dana demi kelangsungan proses belajar mengajar yang dilakukan oleh Rumah Dunia di Serang. Serang merupakan daerah yang tergolong unik dari sisi bahasa di tataran Jawa Barat. Di samping itu, gambaran sebagai daerah yang sedang berkembang pun dapat dirasakan dari kultur kehidupan masyarakatnya. Hal ini tergambar jelas di dalam buku Harga Sebuah Hati. Bermacam-macam kehidupan kaum marjinal diketengahkan seperti kehidupan pemulung (Harga Sebuah Hati), tukang becak (Si Dul Ingin Sekolah), calon tenaga kerja migran (Diantar Kematian), dan karyawan kecil (Baju Baru Buat Lebaran, Seroja, Bandot).
Dari sisi tema, meskipun mayoritas settingnya di ambil dari keluarga kelas menengah, ternyata tidak menimbulkan keseragaman. Persoalan kemiskinan memang masih menjadi hal yang kuat, tetapi di sisi lain ada beberapa hal yang coba ditarik oleh para penulis seperti korupsi (Baju Baru Buat Lebaran), cinta (Seroja), dan kejujuran (Harga Sebuah Hati).
Gola Gong sendiri menuliskan tentang ketegaran hati seorang perempuan (Tiga Lelaki yang Memberiku Cahaya) menghadapi kemalangan yang menimpa dirinya. Menilik bahasa yang dipergunakan dalam cerita ini, sepertinya Gola Gong sudah mengarahkan pandangannya ke hal-hal yang religius. Meskipun sifatnya masih sangat universal.
Harga Sebuah Hati, cerita pendek yang sekaligus menjadi judul buku ini sebenarnya kurang begitu kuat konfliknya. Pribadi remaja Ntong yang dari awal diteropong jiwanya ternyata tidak diselesaikan dengan baik oleh si penulis ketika Bapaknya, seseorang yang sangat dipercaya olehnya, berusaha menutupi perbuatan jahatnya. Perubahan rasa percaya kepada rasa benci tergambarkan sangat samar, padahal itu adalah klimaks dari cerita ini.
Secara pribadi, saya lebih senang dengan ending cerita Baju Baru Buat Lebaran yang ditulis oleh penyair kawakan Totok St. Radik. Perang batin Mustaqim tersampaikan dengan baik. Sehingga ketika dia memutuskan untuk berbelanja bersama istri dan anak-anaknya, saya sebagai pembaca sangat memaklumi keputusannya.
Seperti saya utarakan di awal, bahwa tidak melulu hal yang berhubungan dengan buku ini merefleksikan kehidupan masyarakat pinggir kota. Ada hal yang cukup menarik juga telah diangkat oleh Wangsa Nestapa yaitu bagaimana kita mendidik anak-anak kita. Menghindarkan mereka dari pengaruh-pengaruh yang tanpa kita sadari sesungguhnya meracuni daya nalar anak-anak. Setidaknya, lewat buku ini pembaca bisa ikut merasakan bagaimana sastrawan-sastrawan Serang menyikapi kebohongan-kebohongan yang nyata yang juga berada di sekitar kita.
Dedy Tri Riyadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar